Putri Rasulullah, Kisah Cinta Berbeda Agama

Putri Rasulullah, Kisah Cinta Berbeda Agama

10 September 2022, 00.55.00


KM
,Nabi Muhammad SAW memiliki seorang putri bernama Zainab binti Muhammad. Ia merupakan putri sulung dari pernikahannya dengan Siti Khadijah.


Zainab binti Muhammad merupakan salah satu tokoh dalam Islam. Sebagai anak yang paling besar, Zainab terbiasa membantu meringankan tugas ibunya, dalam urusan rumah tangga hingga mengasuh adik-adiknya. Dari kebiasaan inilah, Zainab belajar hidup dalam kesabaran dan keteguhan. Bahkan, Fatimah yang merupakan putri bungsu Nabi Muhammad SAW menganggap bahwa Zainab seperti ibu kecilnya.


Dalam Islam, mungkin sebagian muslim hanya mendengar kisah-kisah mengharukan dari kisah percintaan Siti Fatimah yang mencintai dalam diam kepada Ali bin Abu Thalib, atau Siti Aisyah dengan Nabi Muhammad SAW, dan lainnya.


Rupanya, tak banyak yang tahu bahwa kisah cinta yang menggugah hati dan memberikan banyak pelajaran juga bisa dipetik dari kisah percintaan Zainab dengan suaminya Abul Ash ibn Rabi’ yang merupakan seorang pemuda Quraisy. Mereka mengalami cinta beda agama atau keyakinan.


Zainab dan Abul Ash ibn Rabi’ memang hidup dalam keharmoniasan. Pernikahan yang mereka jalani penuh dengan kebahagiaan. Namun, perkawinan itu berlangsung sebelum turun wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika Islam datang, Zainab pun tanpa ragu langsung beriman. Akan tetapi, suaminya, Abul Ash ibn Rabi’, enggan untuk meninggalkan agamanya.


Tantangan kaum Quraisy kepada Nabi Muhammad SAW semakin kuat. Sebagian orang Quraisy bahkan menghasut Abul Ash ibn Rabi’ untuk meninggalkan atau menceraikan Zainab. Namun, karena cintanya kepada Zainab begitu besar, Abul Ash ibn Rabi’ dengan tegas mengatakan untuk tidak akan menceraikan istrinya itu dan tidak ingin menggantinya dengan wanita lain di dunia.


Hingga pada akhirnya, perang besar terjadi antara kaum muslimin dan musyirikn yang dikenal pada saat itu Perang Badar. Suami Zainab, Abul Ash ibn Rabi’, tentu berada di barisan kaum musyrikin. Beruntungnya, Perang Badar tersebut dimenangi oleh kaum Muslim. Zainab pun merasa senang akan kemenangan itu. Tapi, bagaimana dengan nasib suaminya? Abul Ash ibn Rabi’ dikabarkan telah menjadi tawanan kaum muslim.


Untuk membebaskan Abul Ash ibn Rabi’, kaum muslimin meminta tebusan yang sangat mahal. Keluarga Abul Ash ibn Rabi’ yang kaya raya ingin menebusnya, tetapi Zainab ingin ia yang membayar tebusan itu untuk suaminya.


Lalu, diutuslah Amr bin Robi, saudara laki-laki Abul Ash ibn Rabi’, ke Ystrib, kota di mana Abul Ash ibn Rabi’ ditawan. Sesampai di sana, ia menemui Rasulullah SAW dan memberikan seuntai kalung.


Amr bin Robi berkata, "Zainab mengutusku untuk mengirimkan ini sebagai tebusan untuk suaminya."


Melihat kalung yang sangat beliau kenal, Rasulullah SAW merasa tersentuh hatinya, dan beliau berkatam "Maukah kalian membebaskan Abul Ash ibn Rabi’ untuknya (yaitu Zainab) dan mengembalikan tebusannya?"


Akhirnya, para sahabat menyetujui. Rasulullah SAW membebaskan Abul Ash ibn Rabi’ dengan syarat harus melepaskan Zinab dan mengembalikannya kepada beliau. Abul Ash ibn Rabi’ pun menyetujui persyaratan tersebut.


Ketika mengunjungi Zainab, Abul Ash ibn Rabi’ mengatakan apa yang menjadi kesepatakan antara dirinya dengan Nabi Muhammad SAW. Mendengar berita tersebut, Zainab sedih dan merasa berat untuk berpisah dengan suaminya. Tetapi, perintah Allah SWT dan Rasul-Nya harus didahulukan dari segalanya, termasuk harus mengorbankan cinta dan perasaan.


Zainab dan Abul Ash ibn Rabi’ akhirnya berpisah. Namun, Zainab tetap berharap semoga Allah dapat mempertemukan mereka kembali.


Setelah berpisah cukup lama, Zainab dan Abul Ash ibn Rabi’ akhirnya bertemu kembali. Tak lama dari pertemuan tersebut, ketika Abul Ash ibn Rabi’ dan sudah memberikan harta-harta yang diamanahkan kepadanya kepada pemiliknya.


Abul Ash ibn Rabi’ berkata, "Jika aku telah mengembalikan hak-hak kalian maka sekarang aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah! Demi Allah, tidak ada yang menghalangiku untuk masuk Islam sewaktu bersama Muhammad di Madinah kecuali aku takut kalian mengira bahwa aku ingin memakan harta kalian, tetapi setelah aku mengembalikan harta itu kepada kalian, dan sekarang aku telah melepaskan tanggunganku, maka aku masuk Islam."


Setelah itu, ia kembali dan berkumpul kembali dengan Zainab. Di sana, ia disambut dengan gembira oleh kaum muslimin. Kemudian, Rasulullah SAW pun mengembalikan Zainab kepadanya, dan mereka berkumpul dan bersatu kembali dalam kebahagiaan yang justru lebih baik dari sebelumnya. 


Sebab, kali ini mereka dikumpulkan dalam agama tauhid. Hanya saja, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Genap setahun Zainab dan Abul Ash ibn Rabi’ kembali bersama, wanita penyabar dan tegar itu kembali menghadap Sang Khalik. Zainab wafat di usia yang relatif muda, yaitu 30 tahun. Meski begitu, dewasanya sikap dan ketabahannya patut diteladani.


Kepergian Zainab meninggalkan Abul Ash ibn Rabi’ seorang diri. Sang ayah, Nabi Muhammad SAW juga merasa kehilangan. Sangat sulit baginya untuk melepaskan kepergian putrinya itu, sama ketika ia sulit melepas kepergian Khadijah dan putri keduanya, Ruqayyah.


Kita, sebagai manusia tidak pernah dilarang untuk mencintai, namun ketika sudah waktunya untuk memilih antara cinta dan Allah. Kita tidak akan punya jawaban lain, selain untuk tetap setiap kepada Dzat yang menciptakan kita, Allah SWT. 


Muslim yang baik pasti akan menempatkan Allah SWT dalam hatinya melebihi segalanya. Kisah cinta Zinab dengan Abul Ash ibn Rabi’ akan menjadi pembelajaran bagi kita semua. Kesetiaan cinta dan ketulusan harus dilandasi iman kepada Allah.


Wallahu a'lam

TerPopuler